
Mataram, Mediajurnalindonesia.id – Komisi IV Bidang Infrastruktur dan Lingkungan Hidup DPRD Nusa Tenggara Barat menyoroti rasionalisasi anggaran dalam rancangan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBD Tahun 2026 di sejumlah organisasi perangkat daerah (OPD) lingkup Provinsi NTB.
Pemangkasan anggaran dinilai berpotensi mempengaruhi capaian program strategis jika tidak diimbangi dengan peningkatan efektivitas pelaksanaan.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Provinsi NTB, Sudirsah Sujanto, S.Pd.B., S.IP., di sela-sela kegiatannya, Senin (17/11/2025) menjelaskan, kajian komisinya terhadap rancangan KUA-PPAS 2026 menemukan adanya rasionalisasi cukup besar dalam alokasi anggaran daerah. Salah satu yang menjadi sorotan utama adalah penurunan pagu anggaran Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) NTB.
“Pagu anggaran Bappeda yang sebelumnya sekitar Rp41 miliar turun menjadi Rp31 miliar. Ini penurunan signifikan, sekitar 25 persen. Tentu berpotensi berdampak terhadap kualitas perencanaan pembangunan,” ujar Sudirsah.
Ia menekankan, dalam situasi fiskal yang menantang, Bappeda dituntut membuktikan efektivitas penggunaan anggaran yang semakin terbatas. “Kami berharap Bappeda bisa membuktikan bahwa dengan anggaran yang menurun, target pembangunan tetap dapat dikejar, bukan justru terhambat,” katanya.
Selain rancangan anggaran 2026, Komisi IV juga menyoroti kinerja keuangan Bappeda pada tahun anggaran berjalan. Hingga 31 Oktober 2025, realisasi keuangan Bappeda baru mencapai 73,97 persen.
“Masih ada sisa anggaran sekitar Rp10,34 miliar atau 26,03 persen yang belum terserap sampai akhir Oktober,” ujar Sudirsah.
Menurutnya, capaian tersebut mengindikasikan adanya hambatan baik di sisi administratif maupun teknis dalam pelaksanaan kegiatan dan program. Dengan sisa waktu yang relatif pendek menuju akhir tahun anggaran, lambannya penyerapan dikhawatirkan berujung pada tidak optimalnya output program dan potensi meningkatnya Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (Silpa).
Meski demikian, di tengah tekanan fiskal akibat penurunan dana transfer ke daerah, Komisi IV tetap menegaskan bahwa efisiensi anggaran tidak boleh mengorbankan kualitas capaian pembangunan yang telah direncanakan untuk tahun 2026.
Selain Bappeda, Komisi IV juga menyoroti kinerja dan penganggaran Biro Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Setda Provinsi NTB. Pada tahun 2026, Biro PBJ dialokasikan anggaran lebih dari Rp2 miliar untuk enam kegiatan dan 19 subkegiatan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 2026.
Fokus anggaran terbesar diarahkan pada program kebijakan dan pelayanan pengadaan barang dan jasa dengan pagu lebih dari Rp1,3 miliar. Angka ini menunjukkan fungsi pengadaan diposisikan sebagai salah satu instrumen strategis yang terus didorong peningkatan kualitasnya.
Alokasi paling signifikan tampak pada kegiatan pembinaan dan advokasi pengadaan barang dan jasa dengan anggaran sekitar Rp800 juta. Dari jumlah tersebut, Rp500 juta secara khusus dialokasikan untuk pendampingan, konsultasi, dan/atau bimbingan teknis (bimtek) kepada unit kerja.
“Besarnya alokasi ini menunjukkan kesadaran Biro PBJ akan pentingnya peningkatan kualitas SDM dan pendampingan unit kerja. Ini langkah yang relevan mengingat tantangan pengadaan yang semakin kompleks,” jelas Sudirsah.
Namun, ia mengingatkan bahwa investasi besar di sektor pembinaan belum sepenuhnya tercermin dalam kinerja pemanfaatan sistem pengadaan elektronik. Skor total pemanfaatan sistem pengadaan baru mencapai 19,71 dari skor maksimal 30. Realisasi e-Katalog tercatat sekitar 39,27 persen, sementara Non-eTendering/Non-ePurchasing baru 49,88 persen.
“Angka-angka ini menunjukkan adopsi sistem elektronik yang seharusnya cepat dan efisien masih belum optimal,” katanya.
Dampak inefisiensi pengadaan, menurut Sudirsah, sudah terasa di lapangan. Sepanjang tahun 2025 tercatat ada 12 paket proyek yang gagal tender, termasuk proyek strategis seperti pembangunan bunker RSUD NTB.
“Kegagalan tender yang berulang ini sering kali dipicu oleh waktu yang mepet menjelang akhir tahun anggaran atau persoalan teknis lainnya. Akibatnya, program pembangunan tertunda dan berpotensi menambah Silpa,” ujarnya.
Dengan total skor Indeks Tata Kelola Pengadaan (ITKP) sebesar 82,36, Biro PBJ dinilai memiliki modal kelembagaan yang cukup. Tantangan ke depan adalah menjembatani kesenjangan antara besarnya investasi pada bimtek dan pendampingan dengan perbaikan nyata dalam efisiensi dan keberhasilan pengadaan.
“Biro PBJ harus memastikan bahwa upaya pembinaan benar-benar diterjemahkan menjadi peningkatan realisasi paket melalui e-Katalog dan penurunan tingkat kegagalan tender,” tegasnya.
Secara struktural, posisi fiskal NTB juga menghadapi tekanan eksternal. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, NTB termasuk salah satu provinsi dengan tingkat ketergantungan fiskal yang tinggi terhadap dana transfer pemerintah pusat, yang mencapai lebih dari 70 persen dari total APBD.
Pemangkasan dana pusat sebesar 31,2 persen mendorong NTB untuk menata ulang strategi pembiayaan pembangunan. Pemerintah provinsi didorong memperkuat Pendapatan Asli Daerah (PAD) berbasis potensi lokal yang sudah dikenal, seperti pariwisata, energi terbarukan, dan pertanian berorientasi ekspor.
Dalam konteks itulah, Sudirsah menilai bahwa perencanaan yang matang, pengelolaan anggaran yang efektif, dan sistem pengadaan yang akuntabel menjadi kunci. Rasionalisasi anggaran, menurutnya, tidak seharusnya hanya dipahami sebagai pemangkasan, tetapi juga sebagai momentum memperbaiki kualitas belanja daerah.
“Ke depan, dengan ruang fiskal yang makin ketat, setiap rupiah anggaran harus punya dampak yang jelas bagi masyarakat. Itulah yang ingin kami dorong melalui fungsi pengawasan di Komisi IV,” pungkasnya.(Doel)

Tinggalkan Balasan