Mataram, Mediajurnalindonesia.id– Di tengah suasana Pengadilan Negeri Mataram yang hiruk-pikuk, kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang melibatkan warga negara asing asal Kanada, Frederick Rabbi,berlanjut. Pada Kamis, 21 Agustus 2025, dalam sidang lanjutan yang menegangkan ini, kehadiran saksi ahli, Dr. Lalu Yullhaidir, seorang psikiater yang berpengalaman, memberi harapan sekaligus membangkitkan simpati terhadap Frederick.
Dr. Yullhaidir, yang telah membantu Frederick selama beberapa bulan terakhir, menjelaskan dalam kesaksiannya mengenai permasalahan psikologis yang melanda kliennya. Sejak Maret hingga Juli, ia melakukan tiga sesi konsultasi dengan Frederick, dan hasilnya menunjukkan adanya penurunan signifikan dalam kondisi mentalnya. Gejala depresi yang dialami Frederick adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikan, termasuk krisis emosional yang berkaitan erat dengan kehidupan pribadinya.
“Frederick mengalami tekanan luar biasa terkait situasi rumah tangganya dan kerinduan mendalam pada anaknya,” ungkap Dr. Yullhaidir dengan nada prihatin. “Rasa terasing dari sang anak, ditambah dengan masalah yang hadir dalam pernikahannya, semakin memperburuk keadaan psikologisnya.” Kalimat ini menggambarkan gambaran yang tak terhindarkan: seorang ayah yang terjebak dalam pusaran masalah hukum dan emosional, merindukan sosok kecil yang seharusnya menjadi cahaya dalam hidupnya.
Dalam penjelasannya, Dr. Yullhaidir mengungkapkan temuan dari asesmen psikologis yang menunjukkan bahwa dari sepuluh gejala asramatik yang diobservasi, Frederick memenuhi tujuh gejala. “Ini jelas menunjukkan dampak besar yang dialaminya akibat situasi yang tak terduga ini,” tambahnya, menekankan betapa kondisi mental Frederick telah terpengaruh oleh peristiwa yang terjadi.
Di sisi lain, kuasa hukum Frederick, Syarifudin, menegaskan pentingnya kehadiran saksi ahli untuk mengungkapkan kondisi yang dihadapi kliennya. “Kami ingin menunjukkan bahwa Frederick bukan hanya berjuang melawan tuntutan hukum, tetapi juga dilanda stres berat akibat dinamika keluarganya,” ujarnya dengan nada tegas. Usahanya untuk menjalin komunikasi yang lebih baik terkait hak visitasi anaknya tampaknya belum menemukan titik terang, menambah beban yang sudah terasa berat di pundak Frederick.
Dalam keterangannya, Syarifudin menggarisbawahi niat baik pihaknya untuk berdialog dan mencari mediasi. Namun, keputusan kasasi terkait permohonan perceraian Frederick yang ditolak menjadi sebuah penghalang. “Meskipun hubungan hukum keduanya masih suami istri, Frederick tetap berkomitmen untuk terlibat dalam kehidupan anaknya,” jelasnya. Frederick bertekad untuk menebus waktu yang hilang, berharap dapat menjadi sosok ayah yang penuh kasih sayang dan memberikan lingkungan yang sehat bagi anaknya.
Kisah Frederick Rabbi adalah kisah tentang perjuangan melawan arus kehidupan, menghadapi trauma masa lalu, serta harapan untuk masa depan yang lebih baik. Ia mengakui bahwa hidup di bawah bayang-bayang manipulasi dalam pernikahan yang penuh konflik membawanya ke titik terendah. “Saya adalah korban,” ujarnya dengan penuh penyesalan. “Akumulasi dari semua ini membuat saya terjebak dalam depresi dan kehilangan dukungan sosial.” Frasa tersebut bukan hanya sekadar kata-kata; ini adalah suara hati seorang ayah yang ingin memberikan segalanya bagi anaknya, meskipun berada dalam pusaran masalah yang tak kunjung reda.
Dalam setiap sesi, setiap keterangan, setiap harapan – tersimpan sebuah perjalanan panjang yang penuh liku, yang mengajak semua orang untuk merenungkan tentang pentingnya dukungan, pengertian, dan cinta dalam keluarga. Sidang ini bukan hanya tentang hukum, tetapi lebih dari itu, tentang kemanusiaan dan harapan di tengah kesulitan hidup. (Ramli Mji)
