Mataram, Mediajurnalindonesia.id- Pengadilan Tipikor Mataram, 29 Agustus 2025. Setelah beberapa waktu menunggu, suara mantan Gubernur NTB, Muhammad Zainul Majdi, atau yang lebih akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB), menggema di ruang sidang. Suara tersebut ditujukan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang melingkupi kasus korupsi terhadap proyek ambisius NTB Convention Center (NCC). Kehadirannya pada pagi itu bukan sekadar formalitas, melainkan sebuah pengungkapan tentang tanggung jawab dan kepemimpinan di era krusial tersebut.
TGB memasuki ruang sidang dengan sikap tenang. Ia diberikan kesempatan untuk bersaksi mengenai perannya dalam proyek pembangunan yang sempat menjadi sorotan publik. Dalam penjelasannya, TGB mengungkapkan bahwa sejak awal, proyek ini melibatkan penyaluran anggaran yang signifikan dan pencarian mitra kerja yang tepat. Kolaborasinya dengan PT. Lombok Plaza merupakan langkah strategis untuk menciptakan ruang interaksi sosial dan ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat NTB.
“Pembangunan NCC ini seharusnya membawa manfaat besar, kami memiliki visi yang besar untuk NTB. Namun, saat itu saya lebih berkonsentrasi pada tugas sebagai gubernur, terutama setelah bencana gempa bumi yang melanda daerah kami,” jelas TGB, semakin dalam ia menggali ingatan masa jabatannya.
Proyek ini tidak berjalan mulus, terdapat melalui relokasi dan pembangunan dua gedung pengganti dengan biaya awal yang disepakati mencapai Rp12 miliar, namun dalam implementasinya hanya teralisasi dengan nilai Rp6,5 miliar. Di sinilah awal konflik muncul; anggaran yang tidak sesuai menjadi pokok pelanggaran yang didakwakan kepada mantan Sekretaris Daerah NTB, Rosyadi Sayuti.
Ketika dilemparkan pertanyaan mengenai penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) oleh Rosyadi, TGB menunjukkan ketidaktahuannya. “Saya tidak pernah mendelagasikan siapa pun untuk menandatangani perjanjian tersebut. Tidak ada laporan yang saya terima terkait hal ini. Saya justru penasaran tentang siapa yang mengizinkan tindakan itu,” tegasnya. Penuturan TGB seolah ingin menyampaikan bahwa proses pengambilan keputusan tidak selalu terjadi di hadapan dirinya, meskipun sebagai Gubernur, tanggung jawab tetap berada di pundaknya.
Para penasihat hukum, termasuk Rofiq Ashari, tanggap dengan kesaksian TGB. Ia menyatakan bahwa kehadiran TGB di persidangan dapat meringankan dakwaan terhadap kliennya.
“Sebagai Gubernur, ia tidak mengindikasikan adanya kerugian negara yang ditimbulkan dari proyek ini. Penandatanganan PKS adalah hasil rapat yang melibatkan banyak pihak,” ujarnya, mempertegas bahwa setiap langkah pengambilan keputusan dalam organisasi pemerintahan merupakan proses yang kompleks.
Kesaksian TGB secara jelas memberi gambaran tentang kekeliruan pengelolaan administrasi yang melibatkan banyak pihak. Pada era pemimpin yang seharusnya memperkuat transparansi dan akuntabilitas, momen ini menjadi pelajaran penting tentang bagaimana informasi harus selalu mengalir baik ke atas maupun ke bawah.
Sidang itu bukan hanya sebuah proses hukum, tetapi juga cermin bagi pemerintahan untuk mengevaluasi kembali struktur dan mekanisme kerjanya. Dalam ketidakpastian hukum yang menyelimuti, harapan akan keadilan tetap menyala di tengah masyarakat NTB, menantikan penuntasan kasus yang berpotensi mencederai nama baik pemerintahan. Ketika semua berlarut-larut dalam labirin informasi dan tanggung jawab, satu hal yang pasti: setiap keputusan membawa implikasi yang jauh lebih besar dari sekadar angka-angka dalam anggaran.(Ramli Mji)
