Mataram, Mediajurnalindonesia.id- Dalam sebuah ruangan pengadilan yang biasanya dipenuhi ketegangan, sidang lanjutan kasus KDRT antara WNA Kanada dan istrinya terpaksa ditunda. Penundaan ini tidak terduga dan menjadi bumbu perdebatan bagi para pihak yang terlibat. Terdakwa, Frederick Raby, alias Freddy, dengan semangat ingin berbicara, menjadi gambaran kontras yang memperlihatkan betapa pentingnya bahasa dalam menyampaikan keadilan. 28/8/2025
Freddy, seorang pria asal Kanada, kini terjerat dalam jaringan hukum di Indonesia dengan tuntutan serius. Dia mengidamkan keterlibatan ahli bahasa Prancis untuk memudahkan penyampaian pembelaan. Tentu, kehadiran ahli bahasa diharapkan menjadi jalan untuk mengurangi risiko penyalahpahaman yang berdampak pada kasusnya. Namun, harapan ini terpaksa terhalang oleh pertimbangan administratif yang tampaknya sepele: kelengkapan dokumen dari penerjemah yang terdaftar.
Kuasa hukum Freddy, Syarifuddin, tampak kecewa saat sidang ditunda. Namun, ia lebih memilih mengedepankan rasionalitas dan penerimaan. “Kami ingin Freddy dapat menyampaikan pembelaan sejelas dan sefleksibel mungkin,” ujarnya, menekankan pentingnya kehadiran ahli bahasa Prancis. Semua ini demi memberikan keadilan yang substansial, bukan sekadar formalitas.
Di hadapan majelis, Syarifuddin menjelaskan bahwa penggunaan bahasa Inggris selama persidangan sebelumnya tidak optimal bagi Freddy, yang lebih terbiasa berkomunikasi dalam bahasa Prancis. Teks dan nuansa yang hilang dalam alih bahasa ternyata bisa berimplikasi fatal pada proses peradilan. Syarifuddin yakin, dengan kehadiran ahli bahasa bersertifikat dari Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI), Freddy akan mampu memberikan pembelaan yang lebih kuat.
Tri Sutjiati, B.Sc.SH.MH, ahli bahasa Prancis yang dihadirkan, tidak menyangka bahwa persyaratan administratif dapat menjadi penghalang. Baginya, hal ini menciptakan kesan seolah-olah kehadirannya dianggap tidak signifikan. Meskipun dirinya telah memiliki sertifikasi dan pengalaman sebagai ahli terjemah di beberapa pengadilan, penilaian majelis hakim seolah mengesampingkan bukti-bukti tersebut. “Saya merasa sudah siap, dan registry saya terdaftar dengan baik,” ujarnya dengan nada sedikit kecewa. Ironisnya, Tri sering kali bekerja sama dengan pengadilan lain di luar Mataram, dan memandang bahwa prosedur pengujian yang diambil dalam hal ini seharusnya lebih fleksibel.
Sidang diatur ulang untuk 11 September 2025, memberi keleluasaan bagi Tri untuk melengkapi syarat yang dipersyaratkan hakim. Penundaan yang membuat di antara para peserta sidang terengah-engah, namun di saat bersamaan membuka harapan bagi semua pihak. Harapan bahwa keadilan akan terwujud dan suara Freddy akan didengar.
Peristiwa ini membuktikan, dalam lingkungan peradilan, bahasa bukan hanya alat komunikasi; ia adalah jembatan menuju keadilan. Tanpa kemampuan untuk berkomunikasi dengan efektif, bisa jadi seseorang kehilangan kesempatan untuk membela dirinya. Di Mataram, di balik dinding ruang sidang, ada lebih dari sekadar hukum yang dipertaruhkan: ada manusia, cerita, dan harapan yang bergantung pada setiap kata yang diucapkan. (Ramli Mji)
