Tuban, Mediajurnalindonesia.id – Pada tanggal 15 bulan 7 imlek biasanya dipakai oleh pemerintahan kerajaan pada zaman dahulu untuk melaksanakan eksekusi bagi semua tahanan hukuman mati. Acara eksekusi ini berlaku serentak di seluruh negeri. Jadi, pada saat itu (tanggal 15 bulan 7 imlek) tersebut dirasakan bermacam-macam oleh seluruh masyarakat. Namun bagi keluarga terpidana, itu adalah hari yang sangat menyedihkan. Sementara bagi masyarakat umum, hari itu dirasakan sebagai hari yang cukup mencekam; dimana banyak keluarga yang menangisi anggota keluarganya yang akan di eksekusi mati. Mereka biasanya “mengantar” arwah kerabatnya tersebut dengan memasang altar, memberikan persembahan, dan sebagainya. Karena hari eksekusi tersebut berlaku serentak diseluruh negeri, suasananya menjadi memang sangat mencekam, dan tentunya penuh dengan suasana duka dan mistis.
Arwah-arwah yang serentak tercabut tersebut, berubah menjadi arwah-arwah gentayangan yang makin menimbulkan suasana yang mengerikan. Sebagian keluarga lainnya yang tidak mengalami adanya anggota keluarga yang di eksekusi, karena rasa ngeri dan takut, jadi ikut-ikutan memberikan sesaji, dengan harapan agar arwah-arwah gentayangan tersebut tidak mengganggu anggota keluarga mereka. Akhirnya, lama kelamaan Chi Gwee Cap Go tersebut menjadi tradisi persembahyangan bagi para roh & arwah yang gentayangan tersebut.
Gunawan Putra Wirawan pengurus Kelenteng Kwan Sing Bio Tuban membantu penyelanggaraan ritual mengatakan sembahyang rebutan tepat di bulan 7 Imlek yang bisa dikatakan sebagai sedekah bumi yang istilahnya direbut akhirnya menjadi rebutan. Di sini itu ada dua yang di depan untuk arwah yang sudah tidak terawat dalam arti kata teman-teman atau tetangga atau siapa saja yang sudah meninggal dan keluarganya tidak merawat lagi maka kita melakukan persembahan atau persembahyangan di luar. Sedangkan yang di dalam itu bagi keluarga baik itu family, orang tua atau orang dekat kita.
“Acara ini bisa dikatakan sebagai sembahyang sedekah bumi yang istilahnya direbut akhirnya menjadi rebutan. Tujuannya adalah untuk mendoakan para arwah yang sudah tidak terurus lagi,” kata Gunawan Putra Wirawan.
Om Gun menerangkan ritual ini sudah diadakan untuk yang kesekian ratus kalinya semenjak klenteng ini berdiri sehingga kita sendiri tidak bisa menyebut yang kesekian kalinya. Dan acara ini untuk umum bisa warga sekitar ataupun dari luar kota serta setelah kita koordinasi dengan pihak kepolisian akhirnya kita bagi dua pihak perempuan di sebelah kanan atau sebelah timur pihak laki-laki di sebelah barat atau sebelah kiri sehingga kita harapkan tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan.
“Ritual ini diadakan Untuk yang kesekian ratus kalinya kita sudah tidak bisa menghitungnya, “terangnya
Kita harapkan semua panitia termasuk aparat dan pihak keamanan dari kita saling membantu dan menjaga supaya acara ini bisa berjalan dengan lancar sukses tidak terjadi apapun yang tidak diharapkan.(msa)