Semarang, Mediajurnalindonasia.id – Peranan Tionghoa di Kota Semarang bisa dikatakan banyak sekali tetapi sayangnya banyak juga yang tidak tercatat. Hal ini bisa dilihat banyaknya peninggalan bangunan bergaya Tionghoa di Kota Semarang. Untuk itulah Hysteria Magazine edisi ke seratus mengangkat tentang Peranan Orang Tionghoa Di Medan Kebudayaan Semarang dan mengadakan bedah buku serta diskusi pada hari Kamis malam (27/06/2024) di cafe Tekodeko Koffiehuis dengan dihadiri ratusan peserta dan tokoh masyarakat.
Ahmad Khairudin pimpinan umum Hysteria mengatakan karena banyaknya yang tidak mencatat tentang teman-teman peranan Tionghoa di Semarang dalam bidang kebudayaan. Cukup lama dalam konteks kebijakan sepertinya kurang diapresiasi. Memang ini tuh berangkat dari premisnya Hesri Setiawan karena itu memang berangkat dari dari penelitiannya beliau. sebetulnya karena tahun 50-an itu dia kan ketua Lekra Jawa Tengah yang merasa di Semarang tidak ada kesenian, tidak ada apa-apa.
“Banyak sekali peranan orang Tionghoa khususnya di bidang kebudayaan yang tidak tercatat. Ini sangat kita sayangkan. Maka dari itu Hysteria Magazine edisi ke seratus memuat tema peranan orang Tionghoa di Medan Kebudayaan Semarang,” Ahmad Khairudin.
Mas Adin menambahkan menurut Hesri cara lihat cara lihatnya memang harus beda, kesenian Semarang itu mestinya dicari di banyak titik di ceruk-ceruk kota salah satunya pada ekspresi budaya Tionghoa sebenarnya bukan cuma Tionghoa masih ada beberapa yang lain. Tapipi premis itu kemudian tidak pernah dilaborasi karena peristiwa 65. Berangkat dari sana kita mau baca ulang dalam 20 atau 25 tahun terakhir ini apa yang terjadi pada kota dan bagaimana kemudian kami sebagai pelaku dan penyaksi beberapa senior itu beberapa teman itu memang betul-betul punya punya filantropi di beda kebudayaan dan itu yang tidak cukup banyak yang mencatat bahwa itu adalah kontribusi yang penting.
“Apabila ingin tahu kebudayaan Semarang harus ke titik-titik ceruk kota Semarang salah satunya pada ekspresi budaya Tionghoa,” kata Mas Adin
Direktur Hysteria menjelaskan justru mereka sudah melakukan itu tapi tidak betul-betul tercatat dengan baik. Tidak banyak catatan tentang mereka melawan melakukan dari tahun 2000-an ada galeri Semarang yang awal-awal mendirikan galeri di kota ini. Ada Pak Handoko, Pak Chris Darmawan kemudian ada rumah seni. Sekarang ada yang namanya Colabox Creative Hub, Rajawali cultural center ada klub Mervy itu kan orang-orang yang memang punya filantropi di bidang kemanusiaan dan kebudayaan menurut kami itu layak dan penting untuk dicatat.
Chris Darmawan mengatakan yang baik kebudayaan selalu bergerak dan siapapun yang menggerakkankan tidak terbatas. Tidak terbatas dari isu ras, isu identitas tertentu. Tapi semua orang memang berperan. Saya kira di kota-kota besar lain juga sama. Tidak signifikan banget juga saya lihat tidak juga. Cuma saya lihat memang kelompok-kelompok di Semarang memang sudah cukup lama jadi mereka datang, mereka hidup, berkebudayaan. Pastinya ada kebudayaan campuran, peranakan cukup signifikan.
“Kebudayaan sebaiknya selalu bergerak tidak memandang siapa yang mengerakan atau dengan kata lain tidak terbatas akan isu-isu tertentu,” kata Chris Darmawan
Pak Chris menambahkan karena terjadinya asimilasi misalnya pendatang dulu waktu orang datang dari Tiongkok kebanyakan laki-laki terus di sini mengadu nasib bekerja dan biasanya memperistri orang lokal pribumi maka itu terjadi anaknya jadi peranakan. Jadi tidak hanya fisiknya yang berasimilasi tetapi juga kebudayaannya, dari makanan, bahasa, pakaian, arsitektur, barang-barang itu ada percampuran budaya yang dinamakan budaya peranakan jadi budaya peranakan itu terbentuknya sudah lebih dari 350 tahun antara kebudayaan Tionghoa kebudayaan lokal kalau di sini Jawa bercampur dengan kebudayaan Belanda. Nah itu meliputi segala macam hal itu yang mempengaruhi kehidupan masyarakat yang dinamakan peranakan Tionghoa
“Karena terjadinya asimilasi kebudayaan antara kebudayaan Tionghoa, Jawa, Belanda dan lainnya shingga memunculkan corak baru atau yang biasa dikatakan peranakan Tionghoa,” tambahnya.
Tokoh Tionghoa menekankan sekarang ini generasi muda itu mempunyai kebudayaan yang lebih hibrid yang lebih global jadi akar-akar budayanya itu memang sudah sedikit banyak itu tidak tertanam oleh generasi muda jadi kalau saya misalnya mempunyai kegiatan di bidang arsitektur untuk merevitalisasi bangunan-bangunan yang sudah rusak kemudian saya konservasi lagi kebetulan banyak saya suka bangunan arsitektur peranakan Tionghoa itu tujuannya juga untuk mengingatkan generasi muda akan akar budayanya. Jadi mereka akan mengenal lagi karena sekarang sudah relatif sudah melupakan mereka dengan adanya kegiatan adanya sesuatu yang mengingatkan mereka jadi mereka bisa tahu sejarah kemudian mereka leluhurnya mereka asal-usulnya termasuk kebudayaannya.
“Generasi muda saat ini akar-akar budayanya itu memang sudah sedikit banyak itu tidak tertanam oleh karena itu harus mulai ditanamkan kembali akar kebudayaannya melalui berbagai kegiatan atau event,” tekannya.(msa)