Lombok Barat, Mediajurnalindonesia.id- Baru-baru ini, pernyataan kontroversial oleh seorang pemilik kafe tuak di Suranadi yang mengklaim bahwa minuman tuak merupakan “identitas budaya” masyarakat setempat telah memicu reaksi keras dari masyarakat. Pernyataan ini dianggap sangat menyesatkan dan melukai perasaan warga Suranadi, terutama umat Muslim, yang merasa martabat mereka terinjak terhadap pernyataan tersebut.
Saat ditemui beberapa media pada rabu, 07 Juli 2025 mereke menyampaikan Kehawatiran dan kemarahan masyarakat diungkapkan oleh sejumlah pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) di wilayah tersebut. Ketua Yayasan Ponpes Darul Hikmah Tanak Beak Narmada, Tgh. Khalilurrahman, M.Pd., bersama Tgh. Jumdan Hadi, M.Pd., Ketua Yayasan Ponpes Madinatus Saulatiyah Al Hadi Desa Buwun Sejati, bahwa kehadiran kafe ilegal tersebut tidak hanya meresahkan warga, tetapi juga melanggar hukum dan bertentangan dengan nilai-nilai agama dan adat. Dalam pernyataannya, ia menyatakan:
Masyarakat dan tokoh-tokoh agama, sosial, dan pendidikan di wilayah Suranadi, menyampaikan penolakan tegas terhadap keberadaan dan aktivitas kafe ilegal ini.
Adapun alasan Penolakan tersebut diantaranya :
* Pelanggaran Hukum: Kafe tersebut dinyatakan ilegal karena tidak memiliki izin resmi dari pemerintah daerah, melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini berpotensi menimbulkan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan norma hukum dan sosial, yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang Penataan Ruang dan Ketertiban Umum.
* Gangguan Ketertiban Umum: Aktivitas kafe ilegal ini sering kali disertai dengan masalah seperti kebisingan, konsumsi minuman keras, dan potensi tindakan asusila. Ini bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 504–506 yang melarang perbuatan meresahkan masyarakat.
* Merusak Citra Wilayah: Suranadi dikenal sebagai daerah wisata religius dan alami yang tenang. Keberadaan kafe ilegal dianggap mencederai citra tersebut dan mengancam daya tarik spiritual serta kearifan lokal.
Dari perspektif Agama, Tgh. Khalilurrahman yang dikenal dengan guru Pondok Naga menekankan bahwa aktivitas ini bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang menolak segala bentuk kemaksiatan dan merusak moral. Menurutnya, masyarakat memiliki tanggung jawab untuk menjaga lingkungan agar tetap bersih dari pengaruh negatif, serta menjaga akhlak generasi muda.
“Kami mengingatkan bahwa kita semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kita pimpin,” ujarnya, merujuk pada Firman Allah Swt dan sabda Nabi Muhammad ﷺ.
Firman Allah SWT:
> وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.”
(QS. Al-A’raf: 56)
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
> كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Terkait dukungan penertiban kafe ilegal kedua Tokoh Agama sekaligus Pimpinan Pondok Pesantren yang ada di wilayah tersebut menyatakan bahwa keberadaan kafe-kafe tersebut sangat bertentangan dengan budaya religius Suranadi dan mengharapkan tindakan tegas dari pemerintah.
“Kami tentu sangat mendukung penertiban kafe-kafe ilegal yang akan dilakukan oleh Bapak Bupati, karena lokasi tersebut tidak seharusnya ada hal-hal seperti itu. Jika tidak, ada potensi ancaman bagi generasi muda yang sedang kami didik untuk menjadi penerus bangsa,” imbuhnya.
Kepedulian masyarakat terhadap keberadaan kafe tuak ilegal di Suranadi menunjukkan pentingnya menjaga nilai-nilai agama dan budaya lokal. Seruannya untuk menutup kafe ilegal ini bukan hanya sekadar penolakan terhadap minuman keras, tetapi juga upaya untuk mempertahankan moralitas dan identitas budaya yang selama ini terpelihara. Masyarakat berharap agar pemerintah dan penegak hukum segera mengambil tindakan tegas, cepat dan tepat untuk menjaga ketenangan dan keindahan wilayah Suranadi demi kebaikan bersama. (Ramli Mji)