Mediajurnalindonesia.id -Bergabungnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ke sisi Ummi Rohmi-Musyafirin (Romfi) merupakan titik krusial dari permulaan untuk menuju kemenangan Pemilu Gubernur /Wakil Gubernur 2024-2029. Bertemunya dua kekuatan under bow dua organisasi sosial keagamaan yaitu NWDI dan NU dapat dikatakan ada pada pasangan Romfi. Tentunya pertemuan ini patut disyukuri karena memang peluang untuk menang semakin besar.
Pada Romfi terdapat refresentasi nasionalis-religius. PDI-P, Perindo dua partai nasionalis. Lalu dikawal oleh 2 partai aliran yaitu PKB, dan PBB.
Jikalau partai nasionalis mendapatakan inspirasi kebangsaan dari pancasila, maka partai nasional -religius inspirasinya dari pancasila dan ajaran agama. Dalam agama Islam ada tradisi cinta tanah air di mana kebangsaan sebuah masyarakat menjadi acuan untuk mengabdi dan menderma baktikan kestiaan padanya.
Lebih dari itu terdapat kekuatan organisasi masyarakat (ormas) di dalamnya yang menjadikan pasangan Romfi mendapatkan kekuatan double gardan. Berpenggerak depan dan belakang. Pada Romfi ada kekuatan pragmatis dan ideologis.
Partai politik dapat dikatakan sebagai kekuatan pragmatis. Timbangannya keuntungan politis sedangkan pada sisi organisasi masyarakat terdapat kekuatan ideologis di mana timbangannya adalah integritas, loyalitas, dan cinta persatuan pada solidaritas sosial yang dibangun. Dengan double gardan, kekuatan pragmatis dan ideologis maka peluang kemenangan untuk pasangan Romfi semakin besar.
Romfi Menang
Pada kondisi persinggungan antara partai politik nasionalis, partai politik nasional-religius (beraliran) di mana terdapat irisan organisasi sosial keagamaan sebagai basisnya, maka disitulah keunikan yang terjadi pada konteks pasangan Romfi. Memang terdapat dinamika yang cukup panjang dalam sejarah partai politik Indonesia di mana terdapat pergulatan timbul tenggelamnya partai politik aliran di tengah-tengah pasang surutnya partai nasionalis. Pada era orde baru pada pemilu 1955 partai politik aliran yang menjadi kan agama sebagai basis nya cukup banyak. Tercatat sebanyak 9 partai politik aliran dari 29 peserta kontestasi pada masa itu seperti Masyumi, NU, PKI, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Kristen Indonesia ( Parkindo), Partai Katolik, Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Politik Tarekat Islam (PPTI), dan Angkatan Komunis Muda (Akoma).
Pada pemilu tahun 1971 menyusut menjadi 6 partai politik aliran dari 10 partai politik yang ikut berkontestasi. Selanjutnya Presiden Soeharto membuat kebijakan di mana partai hanya terdiri dari 3 saja yaitu Partai Golkar, Partai Perjuangan Demokrasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan. Di sini tersisa satu saja partai politik aliran berbasis agama.
Lalu reformasi datang di mana muncul 48 partai. 18 partai politik aliran di dalamnya. Lima tahun kemudian yaitu tahun 2004, partai politik aliran menyusut menjadi lima lalu menjadi 4 pada tahun 2009.
Dari sejarah singkat partai politik sebagai peserta pemilu terdahulu yang mau disampaikan disini adalah betapa dinamika partai politik aliran mengalami dinamika ekstrem. Muncul dalam jumlah yang cukup signifikan lalu menyusut menjadi sangat kecil tetapi cukup stabil seperti keberadaan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menjadi haluan para jama’ah NU. Mau tidak mau PKB adalah partai nya masyarakat (jama’ah) NU, sehingga masih dapat dikatakan sebagai partai politik aliran.
Dari paparan terdahulu dapat ditarik benang merah bahwa partai politik aliran selalu mengalami ledakan di awal fase baru perjalanan sejarah bangsa. Lalu dengan cepat menyusut. Sampai kemudian di era orde baru dikondisikan menjadi 1 partai politik aliran di mana kakbah menjadi lambangnya. Di era reformasi juga demikian, meledak lalu menyusut menjadi paling tidak 2 atau 3 partai politik aliran saja di mana PKB selalu eksis dalam 26 tahun pergulatannya sejak lahir di era reformasi 1998 silam.
Artinya PKB sudah ikut atau mengalami 5 kali pemilu. Berbeda dengan fase-fase sebelumnya partai politik aliran muncul lalu tidak tahan banting, sehingga tidak dapat ikut lagi dalam pemilu-pemilu selanjutnya. Dengan indikasi ini PKB berhasil melakukan konsolidasi didalam mengelola saluran politik bagi jama’ah NU khususnya dan ummat islam pada umumnya.
Nah pada saat sekarang PKB bersama partai politik nasionalis lainnya mengusung Romfi di pemilu gubernur. Menjadi menarik diperhatikan karena lagi-lagi akan diuji daya tahan dan kekuatannya untuk memenangkan kontestasi di aras lokal NTB. Di sini PKB yang menjadi wadah jama’ah NU di mana akan bersama-sama dengan jama’ah dari ormas NWDI hendak diuji kesolidan atau kekompakan ideolgisnya untuk memenangkan Romfi ataukah akan dikalahkan. Waktu yang akan menguji dan menjawabnya. Hanya saja penulis berkeyakinan kedua ormas akan all out untuk mengantarkan Romfi menuju KEMENANGAN (NTB 1 dan 2).
Mengapa? Sekali lagi partai politik aliran itu masih ada irisan ideologisya. Partai politik aliran seperti PKB di mana NU sebagai sumber suaranya di back up oleh jama’ah NWDI merupakan kekuatan yang besumber pada modal sosial-ideologis. Di sini ada pemegang otoritas Tuan Guru sebagai leader of opinion. Pada atmosfer demikian mudah bagi masyarakat untuk dimobilisasi atau diarahkan untuk memenangkan Romfi.
Bisa jadi pada konteks NTB kekuatan otoritas dari Tuan Guru itu merata, namun harus di ingat konsentrasi kekuatan Tuan Guru dilihat dari kuantitasnya akan berkumpul Tuan Guru-Tuan Guru pada gerbong Romfi karena ada NU dan NWDI se-NTB di dalamnya. Inilah kelebihan pasangan Romfi. Sementara otoritas-otoritas lain seperti otoritas tokoh, otoritas lintas suku agama akan selalu memberikan pengaruh dan itu merata ada pada semua pasangan.(Ramli/ Mji )