Kab Bima-NTMediajurnalindonesia.id- Pembangunan rumah relokasi banjir senilai Rp 36 M yang berlokasi di Desa Tambe Kecamatan Bolo Bima telah rampung dikerjakan pada akhir 2021 lalu. Rumah relokasi tersebut direncanakan akan diserahkan dan ditempati oleh para korban banjir Bima yang lokasi rumahnya berada di bantaran sungai.
Kehadiran program pemerintah pusat tersebut pun tentu saja membuat para korban banjir Bima senyum bahagia. Karena setiap musim hujan tak akan lagi dihantui oleh bencana banjir.
Namun pertanyaannya, apakah pembagian rumah relokasi tersebut sesuai dengan harapan?. Benarkah tidak ada kepentingan yang terselip?
Dengan sederet problem yang muncul, sejak awal pembangunan rumah relokasi hingga pembagian kunci rumah. Tentu pertanyaan tersebut sangat layak diajukan. Apalagi proses pembagian rumah yang dimaksud disebut sebut sangat tertutup.
Sinyal itu semakin kentara terlihat, dikala muncul suara suara yang merasa terzolimi.
Contoh kasus seperti yang baru baru ini terkuak. Dua warga RT05 Dusun 3 Desa Tambe yakni Sri Wulandari dan Sukra yang terdata oleh BPBD Bima sebagai korban banjir terparah di desa setempat, rupanya tidak mendapat jatah rumah relokasi, meski rumahnya tepat di bibir bantaran sungai. Malah nama nama yang lain yang menerima jatah rumah tersebut.
Sri Wulandari pada media ini, Minggu (7/8/22) mengaku bahwa namanyalah yang pertama kali didata sebagai korban banjir terparah. Bahkan beberapa kali petugas pendataan mendatangi kediamannya dan menjanjikan akan diberikan rumah relokasi banjir yang sudah selesai dikerjakan itu.
“Ada tujuh kali mungkin yang datang di rumah (Petugas pendataan Pemkab Bima red), tanya tanya dan mengambil gambar rumah. Kemudian menjanjikan rumah relokasi. Namun nyatanya hingga kini saya belum juga diberikan kunci rumah. Sementara warga Tambe yang lain sudah terima kunci,” ucapnya bingung dengan masalah yang dialaminya.
Perempuan yang berstatus janda ini pun mengisahkan, saat banjir bandang terjadi, seluruh isi rumah hangus dibawa banjir bandang setinggi 1,5 meter. Bahkan kala itu, Kades Tambe juga ikut membantu mengevakuasi saat kejadian.
“Jika ingat peristiwa itu, saya pasti trauma. Apalagi saat itu anak perempuan saya yang masih setahun lebih dimasukan dalam ember, kemudian ditarik pakai tali agar bisa dievakuasi di tengah derasnya arus banjir,” akunya.
Terkait soal pembagian rumah, ia sempat mengetahui hasil pendataan bagi warga di dusun tempat tinggalnya (bantaran sungai red) yang kebanyakan menolak menerima rumah relokasi yang dimaksud. Namun ia mengaku tidak termaksud warga yang menolak terima rumah tersebut.
“Di Dusun 3 ini banyak yang menolak dan telah meneken berita acara. Tetapi saya tidak termaksud. Masa mereka yang menolak saya juga kena imbas. Inikan konyol,” terangnya.
Oleh sebab itu, dirinya berharap kepada pemangku kebijkan di Kabupaten Bima untuk benar benar memberikan dan membagikan rumah relokasi sesuai peruntukan. Yang benar benar layak sesuai kategori yang ditentukan, tanpa ada embel embel dan syarat tambahan yang tidak normatif.
“Kami harap ada keadilan bagi kami yang tinggal di bantaran sungai ini. Agar kita tidak menjadi korban banjir lagi,” pintanya.
Terpisah, Kepala Desa Tambe Chandara Nan Arif, S.Pd tak membantah bahwa dua nama warganya yang dimaksud merupakan korban terparah saat banjir bandang tahun lalu. Namun terkait jatah rumah, keduanya disebut terkendala masalah administrasi. “Apalagi warga di dusunnya banyak yang menolak terima rumah relokasi,” terang Kades.
Kendati begitu, pihaknya tetap akan memperhatikan nasib warganya tersebut. “Kita sama samalah sampaikan persoalan ini kepada Kadis Perkim Bima. Agar kedua nama ini mendapat apa yang menjadi harapannya,” timpalnya. (Red)