Mediajurnalindonesia.id-
Ahmad Efendi, Pemerhati Sosial-politik, Staf Pengajar Jurusan Sosiologi Agama UIN Mataram.
Pada seri ini penulis mau menyampaikan hasil temuan lapangan. Bahwa NWDI dan NW itu dapat dipersatukan pada lokus-lokus tertentu dengan semangat kebersamaan sebagai satu asal. Pengalaman lapangan saya ini merupakan barang yang istimewa, karena anomali menemukan kebersamaan antara NWDI dan NW dalam satu tarikan perjuangan. Setidaknya bermula sejak trbentuknya NWDI pada beberapa tahun lalu.
Dalam memperjuangkan Ummi Rohmi menuju NTB1 pada konteks tertentu masyarakat NW dan NWDI ternyata dapat bekerja sama dengan selangkah seayun, senasib sepenanggungan. Persitiwa demikian membuat penulis suprise, sekaligus kagum dengan semangat kesatuan yang mereka perjuangkan. Kata kunci dari kesatuan itu adalah zurriyat.
Bahwa mereka telah memperjuangan zurriyat Maulana Syeikh TGKHM. Zainuddin Abdul Majid, salah seorang ulama besar Lombok, pahlawan Nasional dari NTB. Penulis tidak akan menyebutkan spesifik lokasi persitiwa saling rangkul antara NWDI dan NW ini supaya fenomena demikian tidak berujung tendensius nantinya. Biar sudah menjadi semangat yang merambat di hati para warga masyarakat untuk memupuk kebersamaan dan gotong royong karena itu adalah modal sosial khas masyarakat Indonesia yang semakin hari semakin samar.
Dalam barisan Ummi untuk menuju NTB 1 salah satunya bernama relawan jilbab hijau. Sebagai simbol yang memang sangat strategis bagi perjuangan Ummi Rohmi, relawan jilbab hijau tentunya memerlukan jilbab tersebut. Semakin banyak jilbab hijau semakin bagus karena itu sama dengan menyebarkan panji-panji Ummi untuk semakin besar mendapatkan simpati dan dukungan para Ibu-ibu dan atau masyarakat NTB pada umumnya.
Pada segmen inilah masyarakat NW berusaha menyumbangkan sebanyak mungkin jilbab hijau. Mereka dengan kerjasama di antara masyarakat NW mengadakan ratusan bahkan ribuan jilbab hijau agar dapat dipakai para kaum wanita. Sekaligus sebagai promosi, sosialisasi dan kampanye Ummi menuju NTB 1.
Melebihi Simbol
Sebenarnya kesediaan masyarakat NW menyumbangkan jilbab hijau kepada perjuangan Ummi tidak dapat dipahami secara utuh jika tidak diseberangi lebih jauh ke dalam. Bahwa yang terjadi sebenarnya adalah asosiasi sosial yaitu proses sosial di mana satu kelompok dengan kelompok lain saling mendekati dan menyatu. Sebaliknya disosiatif sosial adalah kelompok sosial yang satu dengan yang lainnya saling menjauhi.
Jadi sumbangan jilbab hijau kepada relawan jilbab hijau Ummi Rohmi tidak sekedar pertautan simbol tetapi lebih dari itu muncullnya semangat yang tidak terpisahkan di antara dua lembaga organisasi masyarakat (ormas) yang memang berasal dari satu induk. Keduanya melangkahi aral lintas formalitas demi substansi kebersamaan yang tidak bisa dihalangi oleh kendala administrasi semata.
Dari sini dapat ditarik beberapa simpulan respon masyarakat terhadap dua lembaga yang timbul dari satu asal. Pertama, masyarakat dan institusi mengikuti irama formalitas keterbagian berdasarkan batas yang tegas dengan landasan administrasi. Kedua, pada konteks tertentu keterbagian berdasarkan landasan administrasi terdahulu kemudian dijadikan sebagai alasan untuk terus “memelihara konflik” untuk membangun solidaritas kelompok mereka. Ketiga, masyarakat dan institusi secara tegas terpisah tetapi secara susbstansial tidak bisa dipisahkan.
Point ketiga inilah yang penulis kira sebagai sebuah respon lebih bijak. Mereka selalu berusha untuk selalu lebih dewasa. Mereka tidak mau larut dalam keterbagian. Alih-alih hendak “terprovokasi” malah mereka mengambil inisiatif sebagai pemersatu keterpisahan.
Bahkan model point ketiga tersebut bisa terus membesar untuk terus mengeliminasi keterbagian dua zurriyat. Mereka dengan heroik menunjukkan diri mereka sebagai bagian dari perjuangan Ummi Rohmi. Satu-satunya keinginan mereka mau berbuat yang terbaik bagi zurriyat Maulana syeikh TGKHM. Zainuddin Abdul Majid walaupun mereka secara institusional bernaung ke lembaga NW.(Tim)