Lombok Tengah, Mediajurnalindonesia.id- Lalu Jayadi, seorang pengamat olahraga dari Nusa Tenggara Barat (NTB), baru-baru ini mengungkapkan pendapatnya mengenai pernyataan yang dikeluarkan oleh Wakil Ketua KONI, Eny Husnandianty, terkait keabsahan Musyawarah Olahraga Kabupaten (Musorkab) yang berlangsung di Loteng pada tanggal 20 Maret lalu. Menurut Jayadi, pernyataan Eny terkesan prematur dan melampaui kewenangannya, serta tidak mencerminkan proses organisasi yang seharusnya dilakukan secara kolektif.
Jayadi menekankan pentingnya kajian mendalam oleh KONI sebelum mengeluarkan pernyataan resmi. Ia menyarankan agar setiap langkah organisasi merujuk pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) sebagai pedoman utama. Tanpa melakukan telaah yang seksama, Jayadi berpendapat bahwa pernyataan Eny bisa dianggap sebagai tindakan yang melanggar otoritas Ketua Umum KONI Provinsi, HMori Hanafi.
“Sebuah organisasi harus mengambil kesimpulan secara kolektif, bukan berdasarkan pendapat individu,” jelas Jayadi. Ia mengingatkan bahwa AD/ART KONI mencakup ketentuan yang jelas mengenai syarat dan prosedur musyawarah, termasuk dalam pasal-pasal yang mengatur Rapat Kerja Kabupaten dan penjaringan calon ketua.
Dalam pandangan Jayadi, proses Musorkab pada tanggal 20 Maret lalu tidak melibatkan pengurus dan ketua KONI yang sah. Ia mengamati bahwa panitia yang mengadakan musyawarah tampaknya tidak mematuhi prosedur yang benar. Menurutnya, undangan Musorkab dikeluarkan oleh Ketua Harian dengan menggunakan stempel yang berbeda dari yang resmi, menambah keraguan terhadap keabsahan acara tersebut.
Jayadi menegaskan bahwa musyawarah seharusnya hanya dapat dilaksanakan tanpa kehadiran Ketua Umum jika masa jabatannya sudah berakhir dan dilakukan oleh caretaker dari Provinsi. “Saat ini, masa jabatan Ketua KONI Loteng masih berlaku hingga 23 April 2025, jadi seharusnya belum ada alasan untuk melaksanakan musyawarah tanpa kehadirannya,” ungkapnya.
Sebagai penutup, Jayadi tidak ingin menyimpulkan siapa yang berhak menjadi panitia Musorkab, tetapi ia percaya publik dapat menilai situasi tersebut secara objektif. Ia menekankan bahwa hasil penelitian dari KONI Provinsi akan menjadi penentu, dan jika ada pihak yang merasa dirugikan, mereka dapat mengambil langkah hukum melalui Badan Arbitrase Olahraga Republik Indonesia (BAORI) atau menggugat secara perdata di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Melihat situasi ini, Jayadi mengingatkan bahwa dalam sebuah musyawarah, bukan hanya kehadiran yang menjadi fokus utama, tetapi juga proses dan struktur kepanitiaan yang harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Kita semua tentu menantikan perkembangan selanjutnya mengenai hasil investigasi KONI Provinsi dan langkah-langkah yang akan diambil. (RJ)